Minggu, 26 Januari 2014

Pentingnya Pendidikan

tulisan ini saya didedikasikan untuk teman saya yang sudah saya kecewakan karena nggak jadi nemenin ke Surabaya, yang saya rasa bisa mendapat manfaat dari apa yang sudah saya dapatkan hari ini setelah mengunjungi seorang guru yang telah membawa kami, saya dan teman-teman sekelas saya saat SD, menjadi seperti saat ini.

Beliau adalah seorang bapak dengan tiga anak, sosok lelaki yang sangat kebapakan, khas guru SD, pembawaannya yang ceria dan banyak cerita tentu membuat kami menjadi murid SD yang tidak pernah lupa oleh jasa-jasanya. Tidak berlebihan jika saya sebut beliau merupakan orang yang berhasil membuat kami menjadi pribadi yang tidak pantang menyerah dan yang paling saya ingat adalah, tidak takut matematika, karena ya bagaimana mau takut. seringkali bapak satu ini memberikan soal trivia matematika kepada kami dan siapa yang bisa menjawab dengan cepat dipersilahkan pulang terlebih dahulu, dan kebiasaan ini telah menanamkan jiwa yang kompetitif, setidaknya bagi saya.

baru saja kami berempat masuk ke rumahnya, beliau dengan cepat mengingat dan menyebutkan nama kami, padahal sudah cukup lama kami tidak bertemu. tidak hanya kami berempat, bahkan ketika kami berbincang-bincang, kami bersama-sama mengabsen hampir seluruh anak di kelas kami dulu, dan ya, bahkan bisa dibilang beliau yang lebih banyak mengingat dan menanyakan bagaimana kabar mereka.

beliau juga bercerita mengenai kegiatannya saat ini, mengajar di SD negeri, ya, setelah kira-kira dua tahun angkatan kami lulus, beliau mendapat amanah untuk dipindahtugaskan ke SD negeri, bukan lagi SD swasta tempat saya sekolah. dan mengenai kegiatannya berkuliah di PGSD, walaupun sudah cukup lama mengajar, karena kebijakan yang baru, semua guru SD harus melalui pendidikan di PGSD, tetap ikut simulasi mengajar seperti mahasiswa-mahasiswa lain, bahkan di depan dosen yang mungkin belum lebih pengalamannya dalam mengajar anak SD.

Namun, ada satu hal yang sangat berkesan bagi saya, beliau menceritakan hal yang setelah sekian lama kami lulus, kami baru mengetahuinya, perbandingan mengajar di swasta dan negeri. ini mungkin hanya akan bersifat opini, belum tentu kebenarannya, hanya berdasarkan pengalaman yang dialami olehnya, mungkin bisa jadi pelajaran bagi kita bersama. 

saat mengajar di sekolah swasta, apalagi di sebuah komplek perumahan, yang siswa-siswanya pasti bertetangga, gengsi dan persaingan antarmurid sangat ketat. tensi persaingan antar guru dengan mengadu prestasi murid di tiap kelasnya pun lebih sengit, biasanya prestasi murid dibuktikan dengan tryout yayasan, dan penerimaan sekolah smp negeri terbanyak. murid-murid bisa diajak berjuang bersama dan orang tua pun sangat mempercayai dan mendukung wali kelas karena memang secara pengetahuan mengenai pendidikan dan kemampuan biaya masih bisa mencukupi.

memangnya di sekolah negeri tidak begitu?

well, ini mungkin terjadi hanya di sd negeri di pedalaman seperti contohnya tempat bapak guru saya mengajar, saya rasa kalau SD di pertengahan kota pun mungkin sudah sama besarnya semangat juangnya seperti di sekolah swasta. 

menurut pengalaman beliau mengajar di sekolah dasar di pedesaan tidak bisa disamakan dengan mengajar di komplek perumahan atau bahkan kota, beliau malah merasa seakan berjuang sendiri demi anak muridnya. ketika mengajar di sekolahku, beliau benar-benar memberikan konsultasi sekolah mana yang baiknya dipilih sebagai pilihan dalam penerimaan siswa baru ke smp, sampai saat terakhir pengumpulan berkas beliaulah yang paling ingin merasa aman dan yakin kalau muridnya bisa diterima di smp negeri dengan memeriksa nilai minimal via psb online, setiap orang tua ingin anak-anaknya bisa masuk ke smp negeri kota yang masih mencakup nilai anaknya. saat itu. namun hal yang berbeda terjadi ketika beliau pindah, bahkan ketika bapak menyatakan bahwa anak ini bisa masuk ke smp yang jauh lebih baik dari pilihannya, orang tua justru cenderung menolak karena alasan biaya dan ketiadaan alat transportasi bagi anaknya. padahal dengan turunnya pilihan anak yang sebenarnya nilainya cukup di sekolah yang lebih favorit dapat berakibat tergesernya teman-teman yang nilainya masih kurang. 

fakta ini membuat saya merasa agak miris, tidak ada yang bisa disalahkan memang, namun sangat disayangkan, dengan bantuan operasional sekolah yang sudah diberikan ke sekolah-sekolah negeri namun semangat atau motivasi dari pesertanya tidak sebanding. mungkin karena pandangan mengenai pendidikan pun belum menjadi hal yang krusial bagi beberapa orang tua. atau mungkin juga lingkungan mengajar dari gurunya yang tidak merasa ada persaingan, mereka hanya menuntaskan tugas untuk mengajar, karena pun kebanyakan guru di SD negeri pun sudah menjadi PNS, yang bisa dibilang hidupnya telah terjamin.

fakta ini tidak membuat lalu saya menyimpulkan swasta lebih baik dari sekolah negeri, tidak semua sekolah swasta dan negeri bisa digeneralisasikan dengan cerita seorang guru sd di pedesaan, tidak bisa.pun saya sendiri merupakan lulusan smp dan sma negeri. namun memang tentunya untuk menarik minat siswa baru agar mendaftar, tidak heran jika kebanyakan sekolah swasta sangat sering menjuarai kejuaraan di bidang akademis maupun non akademis, agar bisa dikenal. memang untuk meraih prestasi segemilang itu, dana yang dikucurkan oleh yayasan dan dikeluarkan oleh orang tua tentu tidak sedikit, namun semangat itu lah yang sebenarnya menjadi bara dalam keberhasilan murid-muridnya.

memang dalam sebuah sistem belajar-mengajar, tidak bisa hanya didorong dari satu sisi, setiap orang harus memiliki persepsi yang sama akan pentingnya pendidikan, hingga tidak ada ketimpangan dari salah satu pihak. atau memang mental kita yang masih menganggap pendidikan hanya sebagai syarat yang harus dilewati? bukan sebagai kebutuhan? entahlah.

pun saya belum memiliki sebuah inovasi, masih sebagai pikiran yang menggelayut di otakku sejak bapak menceritakan hal ini pada kami.

tulisan ini saya dedikasikan untuk teman saya, yang memiliki niat murni, mengajar, iya, mungkin bukan di sekolah dasar, namun saya rasa, ini tugas besar kamu, tugas besar aku, tugas besar kita, sebagai penerus, untuk menjadi generasi yang sadar akan kebutuhan mengenai pendidikan.

betul-salahnya tulisan ini saya mohon maklum, saya tuliskan ini supaya saya tidak lupa, bahwa pernah ada sesosok guru SD, yang sangat saya kagumi, yang begitu besar pengorbanannya, saya yakin pun guru SMP, SMA, dan dosen-dosen saya pun adalah orang-orang terbaik yang menjadikan saya pribadi yang seperti ini, bukan sempurna memang, tapi saya sadar, pendidikan adalah hal yang sangat penting, bukan sekedar batu loncatan.

satu penutup dari saya, mungkin gak nyambung sih, tapi bisa jadi penyemangat untuk terus belajar (terutama bagi para perempuan.)
kebanyakan perempuan merasa kurang semangat saat menjalani pendidikan di perkuliahan karena yah ujung-ujungnya juga akan kerja di dapur. memang betul, perempuan harusnya memang bisa memasak, bisa memenuhi kebutuhan keluarga. tapi pendidikan pun merupakan kebutuhan utama bagi anak-anak yang akan perempuan lahirkan, ingat, keluarga (apalagi ibu) adalah pendidikan pertama bagi anak-anaknya, aku pun bisa membaca sebelum masuk SD karena diajarkan oleh mama sambil mengerjakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, namun memang untuk menjawab keingintahuanku yang begitu banyak kadang mama juga kewalahan, maka dari itu, sebagai calon ibu (begitu pun bagi calon ayah), perkayalah ilmu, jangan sampai tidak bisa memenuhi keingintahuan anak, karena lagi-lagi, keluarga lah pendidikan pertama bagi anak-anak. 

sekian, semoga bermanfaat. :)

Jumat, 24 Januari 2014

Perbedaan Nilai (IP) dengan 'Nilai'

Hai, mungkin yang akan kalian baca hanya sebuah opini pengisi waktu luangku di masa liburan, namun saya berharap, ini ada manfaatnya, ya bagi diri saya sendiri dan tentu bagi kalian yang menyempatkan waktunya untuk membaca.

sebelumnya, sehubungan dengan judul post ini, mari kita samakan persepsi mengenai nilai. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Nilai adalah
nilai /ni·lai/ n 1 harga (dl arti taksiran harga): sebenarnya tidak ada ukuran yg pasti untuk menentukan -- intan; 2 harga uang (dibandingkan dng harga uang yg lain): -- rupiah terus menurun; 3 angka kepandaian; biji; ponten: rata-rata -- mata pelajarannya adalah sembilan; sekurang-kurangnya -- tujuh untuk ilmu pasti baru dapat diterima di akademi teknik itu; 4 banyak sedikitnya isi; kadar; mutu: -- gizi berbagai jeruk hampir sama; suatu karya sastra yg tinggi -- nya; 5 sifat-sifat (hal-hal) yg penting atau berguna bagi kemanusiaan: -- tradisional yg dapat mendorong pembangunan perlu kita kembangkan; 6 sesuatu yg menyempurnakan manusia sesuai dng hakikatnya: etika dan -- berhubungan erat;
pada postingan ini, nilai yang akan kita bahas adalah arti nilai nomor 3 dan 6.

secara khusus, tulisan ini saya tujukan ke beberapa adik-adik saya yang (mungkin) sedang resah menunggu IP pertamanya, hanya sebuah tulisan dari pengalaman, belum tentu kebenarannya, hanya saja, saya ingin kalian bisa memahami.

kita mungkin sering mendengar nilai (dalam bentuk IP) itu bukan segalanya, this is true, tapi tidak berarti kita lalu menyepelekan nilai. coba renungkan, kata-kata di atas biasanya hanya dikatakan oleh orang-orang dengan IP menengah ke bawah (seperti saya ._.) atau orang-orang dengan IP tinggi sebagai kata penghibur bagi teman-teman yang tidak senasib baik sepertinya.

well, memang benar IP bukan segalanya, tapi coba cek, di setiap persyaratan keikutsertaan organisasi,  beasiswa, lomba, atau kegiatan exchange misalnya, tentu ada syarat IP tertera di sana, jadi ya tidak sepenuhnya benar bahwa IP bukan segalanya, okelah IP memang bukan segalanya, namun dengan IP kita bisa mengikuti dan mengambil banyak kesempatan. so, never underestimate the exsistence of GPA !

namun sayangnya, bagi beberapa orang yang sangat memperdulikan IP, sangat-sangat berorientasi pada pencapaian IP justru lupa dengan arti nilai di nomor 6, sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakitkatnya. beberapa dari mereka yang mengejar IP tinggi, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan IP yang istimewa. tidak semua orang yang memiliki IP tinggi memiliki karakter seperti itu, saya tidak mengatakan hal tersebut, namun ada beberapa oknum yang mungkin seperti itu.

setiap di awal semester dalam pengisian formulir rencana studi, mahasiswa berebut kelas dengan dosen yang 'katanya' enak, enak sendiri ini pun mempunyai definisi yang berbeda-beda, beberapa dari mereka mendefinisikan enak adalah mudah memberi nilai, tidak banyak tugas, atau berkepribadian santai, atau justru beberapa orang mendefinisikan enak adalah dosen-dosen yang pintar, yang expert di bidangnya atau malah memberikan tugas banyak sehingga banyak kesempatan dalam memperbaiki nilai. who knows....

bukan hal yang salah ketika kita menginginkan dosen yang enak bagi kita dalam menuntut ilmu, tapi sebenarnya dosenpun tentu telah memiliki kemampuan yang lebih dari kita yang masih duduk di bangku kuliah S1 ini, siapapun dosennya, seharusnya memang beliau lebih kompeten dibandingkan dengan mahasiswanya dan tentu hak kita mendapatkan ilmu dan 'nilai' darinya. lain hal apabila memang nilai lah yang menjadi faktor utama dalam memilih dosen.

setelah mengalami pengalaman empat (sedang menunggu yang ke-lima) kali mendapatkan hasil IP di akhir semester, saya semakin sadar bahwa, dosen pun bermacam-macam jenisnya dan caranya dalam memberikan persepsi dalam bentuk nilai terhadap ilmu yang didapatkan dan usaha yang dilakukan oleh para mahasiswa.

jujur selama empat kali mendapat IP, IPS (apalagi IPK) saya tidak pernah menyentuh angka cum laude jadi mungkin agak kurang sip juga ya kalau saya yang berbagi cerita mengenai IP :)) padahal umumnya semester pertama mahasiswa di jurusan saya mendapatkan IP yang beyond expectation.
ya anggap saja ini sebuah opini yang tentu memiliki kebenaran dan salah masing-masing, sebagai pengisi liburan saja, jadi benar-benar no offense ya.

kembali lagi mengenai nilai.
tentu jika saya hanya mencari nilai dengan arti nomor 3, saya sudah gagal menjadi terbaik (menurut versi saya sendiri). namun lebih dari itu, saya juga berfikir, memangnya pantas saya dapat nilai A seperti teman-teman saya yang mendapatkan nilai serupa? apakah benar usahaku sudah lebih dibanding usaha mereka? atau apakah memang kemampuan saya sudah pantas diapresiasi dengan nilai A dari dosen. dan kemudian saya menjadi mafhum dan berintrospeksi, sebenarnya nilai yang seperti apa yang saya cari?

banyak dari teman-teman saya yang berada di ranking IPK di halaman pertama merupakan orang-orang dengan segudang kegiatan akademis maupun nonakademis, mereka yang bersinar dengan prestasinya, tidak semua memang, namun mereka telah berhasil mencambuk saya dan membuat saya iri akan kemampuan luar biasa yang mereka miliki. ya, saya iri. 

mereka bisa mencapai nilai berupa IP dan nilai aktualisasi diri dengan baik, lalu kenapa saya tidak? jika memang saya tidak bagus di IP, mungkin saya bisa berguna dengan belajar hal-hal nonakademis, menambah pengalaman, agar tidak menjadi sia-sia kurang-lebih empat tahun menjadi mahasiswa, sudahlah IP tidak istimewa, pengalaman juga tak punya.

Oleh karena itu, saya memilih jalan ini, memilih meluangkan waktu, tidak untuk diri sendiri, bukan berarti lalu saya lupa akan tugas utama saya sebagai mahasiswa yaitu belajar, tentu, nilai IP tetap menjadi kebutuhan saya, namun jauh di luar itu, nilai kesungguhan, nilai keikhlasan, nilai kerjasama dapat kita peroleh apabila kita mau merenungkan.

Jangan takut, jangan sedih dengan hasil yang mungkin belum memuaskan, atau jangan sombong dengan hasil yang melebihi ekspektasi, baik atau buruk itu merupakan ujian dari yang di atas, apakah kita masih mampu berusaha menjadi orang yang lebih baik dengan nilai yang diberikan oleh dosen atas usaha dan kesungguhan kita.

yang paling penting dari sebuah penilaian orang lain adalah, kita mampu membuktikan pantas atau tidaknya nilai tersebut diberikan pada kita. nilai IP hanyalah representasi dosen terhadap kemampuan mahasiswanya, bisa jadi tepat, bisa jadi terlalu tinggi ataupun di bawah kemampuan mahasiswanya, bagaimana pun, itu hanya representasi dosen terhadap kemampuan kita dalam satu semester, lebih dari itu, ilmu yang sudah kita dapatkan hendaknya dapat dimanfaatkan lebih dari satu semester, atau satu jenjang pendidikan S1 ini, ilmu seharusnya dapat kita manfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, apapun bentuknya, dan apapun 'nilai' yang kita dapatkan.

Terima kasih telah menyempatkan membaca, semoga bermanfaat bagi kita. kesalahan datangnya dari saya, dan kesempurnaan hanya milik Allah swt.