Malam ini sama
seperti malam-malam biasanya ketika saya pulang ke rumah, bercerita banyak hal dengan
Mama sebelum tidur. Semenjak semester tujuh memang intensitas pulang ke rumah,
yang notabene hanya berselang 1,5 hingga 2 jam perjalanan menggunakan motor
berkurang drastis karena satu dan dua hal, salah satunya berinisial TA, ya udah
ampunin saya ya kalau yang baca jadi langsung kepikiran. Ya karena jarang
pulang pun yang diceritain bisa banyaaak sekali, hal-hal yang dirasa
mengganjal, unik, dan menyenangkan pasti ngga lewat diceritain, begitu pun Mama.
Sampai
entah kenapa tetiba saya teringat akan sesuatu………….
“Ma, Yakop masih hidup kan? Kok diem-dime
aja ngga kedengeran suaranya?”
Yakop (sebenernya diambil dari kata Jacob)
adalah burung kakaktua peliharaan sedari saya masih usia Taman Kanak-Kanak. Masih
teringat ketika saya pulang sekolah dan mendapati Yakop tidak di tempat
biasanya, saya langsung berteriak dan menangis menanyakan keberadaan Yakop ke
Mama. Sampai lari-lari mencari ke rumah-rumah tetangga. Alhamdulillah Yakop
belum terlalu jauh, masih berada di rumah tetangga yang berjarak tiga rumah
dari rumah saya. Pada saat itu saya benar-benar takut kehilangan Yakop.
Mama
menjawab, “loh kok baru nanya sekarang, dimana hayo”
“Ma…..
beneran dimana Yakop?” mulai deg-degan.
“Udah
Papa kasih ke orang, sekarang Yakop jadi lebih terawat kok, bersih”
“Loh…….(speechless
lama) kok gitu sih Ma?”
“Gak
ada tempat di rumah buat melihara Yakop, Yakop suka nggigitin kawat sangkarnya
sampe bolong kalo dijadikan satu sama burung-burung lain bisa lepas, kalau
dipisah sama burung-burung lain di luar Mama capek juga ngawasin ke luar masuk
rumah takut hilang.”
(masih
speechless) “tapi Ma…….kenapa harus Yakop, Ai jarang-jarang suka sama hewan,
kenapa harus Yakop”
“Ya, mama udah bilang sama Papa, hewan langka kok dikasih ke orang, tapi Papa pun juga mungkin sudah capek dan ngga sempat meliharanya” Memang daridulu papa suka banget melihara burung sama ngerawat tanaman, tapi jadi banyak ga karuan dan ngga ada waktu buat melihara, apalagi juga sejak ngekos saya pun jarang di rumah.
“Ya, mama udah bilang sama Papa, hewan langka kok dikasih ke orang, tapi Papa pun juga mungkin sudah capek dan ngga sempat meliharanya” Memang daridulu papa suka banget melihara burung sama ngerawat tanaman, tapi jadi banyak ga karuan dan ngga ada waktu buat melihara, apalagi juga sejak ngekos saya pun jarang di rumah.
“Kok
gitu sih Ma, ini Yakop lho, Yakop tuh gede bareng sama Ai. Kenapa harus Yakop?”.
Iya saya udah nangis kok ngomong gitu, literally nangis terisak-isak.
“Ya
udah, sabar ya Ai, nanti pas Ai punya rumah sendiri beli lagi burung kakaktua,
sediain tempat yang bagus dibarengin sama burung Beo, ya Mama juga kadang
kesepian sih ga ada Yakop.”
Dan
percakapan pun berlangsung antara menghibur dan usaha pengalihan topik dari
pembicaraan Yakop oleh Mama. Perasaan yang saya rasakan malam ini sama seperti saat
TK saya kehilangan Yakop untuk sesaat. Sesuatu yang besar hilang dan rasanya
menyedihkan. Namun setelah saya berpikir lagi, sejak saya kuliah dan harus kos,
saya sudah sangat jarang memandikan, memberi makan atau sekedar mengajak Yakop
berbicara. Walaupun hanya berteriak-teriak ga karuan dan kosakata yang mampu
diucapkan Yakop dengan jelas hanya “Yakop Lapar” entah saat dia benar-benar
lapar atau hanya mencari perhatian, I
used to spend a lot time with Yakop. Setelah menenangkan diri sesaat,
dipikir-pikir kok ngga pantas saya menangisi sesuatu yang bahkan sudah tidak
saya perjuangkan, tidak saya jaga dengan baik. Tentu saja apabila saya
benar-benar tidak mau kehilangannya seharusnya saya menunjukkan antusias dan
meluangkan banyak waktu setiap pulang, sehingga Papa saya pun tidak akan sampai
hati memberikan Yakop ke orang lain, karena tau dan menyaksikan kalau saya
sangat ketergantungan dengan Yakop. Namun hal tersebut tidak saya lakukan.
Apakah iya aku
masih menyayanginya seperti ketika aku kecil dulu? Tentu, aku masih menangisi
kenyataan aku kehilangan hewan peliharaan yang tumbuh bersamaku sedari kecil. Rasa
tidak ikhlas tentu ada, merasa tidak seharusnya Yakop dipindahtangankan ke
orang lain. Namun apakah itu cinta ketika aku bahkan sudah tidak sempat
meluangkan waktu untuk Yakop? Bahkan baru menyadari kalau Yakop sudah lebih
dari sebulan diberikan ke orang lain (Ya, walaupun sebulan ini pun saya memang
jarang sekali di rumah, kalaupun pulang pasti sudah malam, dan pada malam hari
Yakop memang jarang berisik).
Mungkin caraku membuktikan
cintaku pada Yakop adalah memang untuk mengiklhaskannya dirawat dengan baik
oleh orang lain yang lebih memiliki banyak waktu untuk merawatnya, mengajaknya
bicara, memandikannya, dan memberi makan.
Menurutku (perlu dibold biar ga dikata
lebay atau soktau), cerita antara saya dan Yakop dapat dianalogikan dengan
cinta kepada sesama manusia, siapa pun itu, baik orang tua, teman, tetangga,
saudara, dll. Kalau kita memang cinta ya tunjukkan, berikan perhatian, bantu
dengan ikhlas tanpa mengharap balasan. Namun, kalau kita memang belum atau
sudah tidak sanggup memberikan hal-hal tersebut, ada kalanya mencintai harus
dibuktikan dengan mengikhlaskan. Mengikhlaskan dia mendapatkan perlakuan lebih
baik dari orang lain, walau berat, kita harus menyadari bahwa itu pun adalah
hal yang terbaik yang dapat kita lakukan baginya.
Mengutip Jaggu
pada film PK
“Dia begitu mencintaiku hingga rela melepaskanku"
Sehat-sehat ya
kop, maaf aku kurang perhatian dan ngga pernah nyempatin waktu lagi sama Yakop
huhuhuhuhuhu, sedih banget, yauda sih Yakop gabisa baca ini, tapi tetep aja
sedih, maaf kalau nyampah dan nggak mutu. Tapi emang lagi sedih banget. Huhu Yakop
L